28 September 2009

Orang Mukmin Tidak Pernah Stres!

Orang Mukmin Tidak Pernah Stres!

Sebagai hamba Allah, dalam kehidupan di dunia manusia tidak akan luput dari berbagai cobaan, baik kesusahan maupun kesenangan, sebagai sunnatullah yang berlaku bagi setiap insan, yang beriman maupun kafir. Allah Ta’ala berfirman,

وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”
(Qs Al Anbiya’: 35)


Ibnu Katsir –semoga Allah Ta’ala merahmatinya– berkata, “Makna ayat ini yaitu: Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang beputus asa.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/342, Cet Daru Thayyibah)

Kebahagiaan hidup dengan bertakwa kepada Allah

Allah Ta’ala dengan ilmu-Nya yang Maha Tinggi dan Hikmah-Nya yang Maha Sempurna menurunkan syariat-Nya kepada manusia untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup mereka. Oleh karena itu, hanya dengan berpegang teguh kepada agama-Nyalah seseorang bisa merasakan kebahagiaan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan) hidup bagimu.” (Qs al-Anfaal: 24)

Ibnul Qayyim -semoga Allah Ta’ala merahmatinya- berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan yang bermanfaat hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya, maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik). Meskipun dia memiliki kehidupan (seperti) hewan yang juga dimiliki oleh binatang yang paling hina (sekalipun). Maka kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin.” (Kitab Al Fawa-id, hal. 121, Cet. Muassasatu Ummil Qura’)

Inilah yang ditegaskan oleh Allah Ta’ala dalam banyak ayat al-Qur’an, di antaranya firman-Nya,

مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs ِAn Nahl: 97)

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu (di dunia) sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya (di akhirat nanti)” (Qs Huud: 3)

Dalam mengomentari ayat-ayat di atas, Ibnul Qayyim mengatakan, “Dalam ayat-ayat ini Allah Ta’ala menyebutkan bahwa Dia akan memberikan balasan kebaikan bagi orang yang berbuat kebaikan dengan dua balasan: balasan (kebaikan) di dunia dan balasan (kebaikan) di akhirat.” (Al Waabilush Shayyib, hal. 67, Cet. Darul Kitaabil ‘Arabi)

Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan ibadah shalat, yang dirasakan sangat berat oleh orang-orang munafik, sebagai sumber kesejukan dan kesenangan hati, dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وجعلت قرة عيني في الصلاة

“Dan Allah menjadikan qurratul ‘ain bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat.” (HR. Ahmad 3/128, An Nasa’i 7/61 dan imam-imam lainnya, dari Anas bin Malik, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ish Shagiir, hal. 544)

Makna qurratul ‘ain adalah sesuatu yang menyejukkan dan menyenangkan hati. (Lihat Fatul Qadiir, Asy Syaukaani, 4/129)

Sikap seorang mukmin dalam menghadapi masalah

Dikarenakan seorang mukmin dengan ketakwaannya kepada Allah Ta’ala, memiliki kebahagiaan yang hakiki dalam hatinya, maka masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak membuatnya mengeluh atau stres, apalagi berputus asa. Hal ini disebabkan karena keimanannya yang kuat kepada Allah Ta’ala sehingga membuat dia yakin bahwa apapun ketetapan yang Allah Ta’ala berlakukan untuk dirinya maka itulah yang terbaik baginya. Dengan keyakinannya ini Allah Ta’ala akan memberikan balasan kebaikan baginya berupa ketenangan dan ketabahan dalam jiwanya. Inilah yang dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya,

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali denga izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs At Taghaabun: 11)

Ibnu Katsir mengatakan, “Makna ayat ini: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allah, sehingga dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allah Ta’ala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allah tersebut, maka Allah akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Dia akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan yang lebih baik baginya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/137)

Inilah sikap seorang mukmin dalam menghadapi musibah yang menimpanya. Meskipun Allah Ta’ala dengan hikmah-Nya yang maha sempurna telah menetapkan bahwa musibah itu akan menimpa semua manusia, baik orang yang beriman maupun orang kafir, akan tetapi orang yang beriman memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang kafir, yaitu ketabahan dan pengharapan pahala dari Allah Ta’ala dalam mengahadapi musibah tersebut. Tentu saja semua ini akan semakin meringankan beratnya musibah tersebut bagi seorang mukmin.

Dalam menjelaskan hikmah yang agung ini, Ibnul Qayyim mengatakan, “Sesungguhnya semua (musibah) yang menimpa orang-orang yang beriman dalam (menjalankan agama) Allah senantiasa disertai dengan sikap ridha dan ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun sikap ridha tidak mereka miliki maka pegangan mereka adalah sikap sabar dan ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Ini (semua) akan meringankan beratnya beban musibah tersebut. Karena setiap kali mereka menyaksikan (mengingat) balasan (kebaikan) tersebut, akan terasa ringan bagi mereka menghadapi kesusahan dan musibah tersebut. Adapun orang-orang kafir, maka mereka tidak memiliki sikap ridha dan tidak pula ihtisab (mengharapkan pahala dari-Nya). Kalaupun mereka bersabar (menahan diri), maka (tidak lebih) seperti kesabaran hewan-hewan (ketika mengalami kesusahan). Sungguh Allah telah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya,

وَلا تَهِنُوا فِي ابْتِغَاءِ الْقَوْمِ إِنْ تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللَّهِ مَا لا يَرْجُونَ

“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (Qs An Nisaa’: 104)

Oleh karena itu, orang-orang mukmin maupun kafir sama-sama menderita kesakitan. Akan tetapi, orang-orang mukmin teristimewakan dengan pengharapan pahala dan kedekatan dengan Allah Ta’ala.” (Ighaatsatul Lahfan, hal. 421-422, Mawaaridul Amaan)

Hikmah cobaan

Di samping sebab-sebab yang kami sebutkan di atas, ada faktor lain yang tak kalah pentingnya dalam meringankan semua kesusahan yang dialami seorang mukmin dalam kehidupan di dunia, yaitu dengan dia merenungkan dan menghayati hikmah-hikmah agung yang Allah Ta’ala jadikan dalam setiap ketentuan yang diberlakukan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Karena dengan merenungkan hikmah-hikmah tersebut dengan seksama, seorang mukmin akan mengetahui dengan yakin bahwa semua cobaan yang menimpanya pada hakikatnya adalah justru untuk kebaikan bagi dirinya, dalam rangka menyempurnakan keimanannya dan semakin mendekatkan diri-Nya kepada Allah Ta’ala.

Semua ini di samping akan semakin menguatkan kesabarannya, juga akan membuatnya selalu bersikap husnuzh zhann (berbaik sangka) kepada Allah Ta’ala dalam semua musibah dan cobaan yang menimpanya. Dengan sikap ini Allah Ta’ala akan semakin melipatgandakan balasan kebaikan baginya, karena Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi:

أنا عند ظنّ عبدي بي

“Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepadaku.” (HSR al-Bukhari no. 7066 dan Muslim no. 2675)

Makna hadits ini: Allah akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut selalu menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allah Ta’ala. (Lihat kitab Faidhul Qadiir, 2/312 dan Tuhfatul Ahwadzi, 7/53)

Di antara hikmah-hikmah yang agung tersebut adalah:

[Pertama]

Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai obat pembersih untuk mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada pada hamba-Nya, yang kalau seandainya kotoran dan penyakit tersebut tidak dibersihkan maka dia akan celaka (karena dosa-dosanya), atau minimal berkurang pahala dan derajatnya di sisi Allah Ta’ala. Oleh karena itu, musibah dan cobaanlah yang membersihkan penyakit-penyakit itu, sehingga hamba tersebut akan meraih pahala yang sempurna dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala (Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfan hal. 422, Mawaaridul Amaan). Inilah makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Orang yang paling banyak mendapatkan ujian/cobaan (di jalan Allah Ta’ala) adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan) dan orang-orang yang (kedudukannya) setelah mereka (dalam keimanan), (setiap) orang akan diuji sesuai dengan (kuat/lemahnya) agama (iman)nya, kalau agamanya kuat maka ujiannya pun akan (makin) besar, kalau agamanya lemah maka dia akan diuji sesuai dengan (kelemahan) agamanya, dan akan terus-menerus ujian itu (Allah Ta’ala) timpakan kepada seorang hamba sampai (akhirnya) hamba tersebut berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak punya dosa (sedikitpun)” (HR At Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4023, Ibnu Hibban 7/160, Al Hakim 1/99 dan lain-lain, dishahihkan oleh At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Adz Dzahabi dan Syaikh Al Albani dalam Silsilatul Ahaadits Ash Shahihah, no. 143)

[Kedua]

Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai sebab untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan seorang mukmin kepada-Nya, karena Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya yang selalu taat beribadah kepada-Nya dalam semua keadaan, susah maupun senang (Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfan, hal. 424, Mawaaridul amaan) Inilah makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Alangkah mengagumkan keadaan seorang mukmin, karena semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya.” (HSR Muslim no. 2999)

[Ketiga]

Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan di dunia sebagai sebab untuk menyempurnakan keimanan seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna yang Allah Ta’ala sediakan bagi hamba-Nya yang bertakwa di surga kelak. Inilah keistimewaan surga yang menjadikannya sangat jauh berbeda dengan keadaan dunia, karena Allah menjadikan surga-Nya sebagai negeri yang penuh kenikmatan yang kekal abadi, serta tidak ada kesusahan dan penderitaan padanya selamanya. Sehingga kalau seandainya seorang hamba terus-menerus merasakan kesenangan di dunia, maka tidak ada artinya keistimewaan surga tersebut, dan dikhawatirkan hamba tersebut hatinya akan terikat kepada dunia, sehingga lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti (Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam Ighaatsatul Lahfan, hal. 423, Mawaaridul Amaan dan Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Uluumi wal Hikam, hal. 461, Cet. Dar Ibni Hazm). Inilah di antara makna yang diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

كن في الدنيا كأنك غريب أو عابر سبيل

“Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.” (HSR Al Bukhari no. 6053)

Penutup

Sebagai penutup, kami akan membawakan sebuah kisah yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim tentang gambaran kehidupan guru beliau, Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah di zamannya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –semoga Allah merahmatinya–. Kisah ini memberikan pelajaran berharga kepada kita tentang bagaimana seharusnya seorang mukmin menghadapi cobaan dan kesusahan yang Allah Ta’ala takdirkan bagi dirinya.

Ibnul Qayyim bercerita, “Allah Ta’ala yang Maha Mengetahui bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada gurunya, Ibnu Taimiyyah. Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan (siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allah Ta’ala), yang berupa (siksaan dalam) penjara, ancaman dan penindasan (dari musuh-musuh beliau). Tapi bersamaan dengan itu semua, aku mendapati beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya serta paling tenang jiwanya. Terpancar pada wajah beliau sinar keindahan dan kenikmatan hidup (yang beliau rasakan). Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul (dalam diri kami) prasangka-prasangka buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami (segera) mendatangi beliau (untuk meminta nasehat), maka dengan hanya memandang (wajah) beliau dan mendengarkan ucapan (nasehat) beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.” (Al Waabilush Shayyib, hal. 67, Cet. Darul Kitaabil ‘Arabi)

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 15 Rabi’ul awwal 1430 H

***

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim Al Buthoni, Lc.
Artikel www.muslim.or.id

04 September 2009

HAKIKAT NAFSU DAN AKAL

HAKIKAT NAFSU DAN AKAL
H. M. Shoffar Mawardi

Semoga Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Luas ilmu-Nya senantiasa
membimbing kita untuk dapat mengkaji dan memahami kebenaran hakiki dalam hidup ini.
Terlebih hal-hal yang menjadi bagian dari persoalan hidup kita sehari-hari. Diantara hal penting
yang sering menjadi bahan perbincangan kita sehari-hari adalah mengenai istilah “Nafsu, Akal,
Qolbu dan Ruh”.
Imam Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu ‘Ajibah Al-Hasani di dalam kitab “Iiqodhul Himam”
menjelaskan bahwa sesungguhnya nafsu, akal, qolbu dan ruh itu adalah sesuatu yang satu yang
ada pada diri manusia. Ia hakikatnya adalah “Ruh”, yang terus-menerus berkembang secara
dinamis sesuai dengan proses pembersihan (tashfiyah) dan kenaikan (taroqqiyah) yang terus
berlangsung di dalamnya. Oleh karena itulah Allah SWT menyatakan bahwa beruntunglah orangorang
yang terus-menerus berproses membersihkan ruhnya. “Maka Allah mengilhamkan kepada
ruh itu potensi kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan ruhnya. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS.91.Asy-
Syams:8-10)
Nafsu
Ketika seorang manusia hari-hari kehidupannya masih dikuasai dan disibukkan oleh
dorongan-dorongan hawa nafsu dan keinginan-keinginan syahwatnya tanpa mempedulikan
apakah hukumnya halal atau haram, maka ruh yang ada di dalam diri orang seperti ini disebut
“Nafsu”. Nafsu adalah derajat ruh yang paling rendah.
Jika seorang manusia ruh yang ada didalam dirinya masih derajat nafsu, maka ia tidak
akan berpikir dan peduli mengenai “Hukum Syara’”, halal atau haram, benar atau salah, baik atau
buruk, apalagi pantas atau tidak pantas. Yang ada dalam benak orang seperti ini hanyalah “Saya
ingin” dan “Saya mau”. Bagi “Nafsu” tidak ada urusan dengan maksiat, dosa, siksa apalagi tata
krama. Bahkan resiko dan akibat dari apa yang akan diperbuatnya pun tidak ia pikir dan
pedulikan. Oleh karenanya ciri khas dari perbuatan “Nafsu” itu ujung-ujungnya adalah
malapetaka dan akhirnya adalah penyesalan yang sia-sia.
Orang yang ruhnya masih derajat nafsu maka kecenderungannya tidak mau beribadah
dan mengabdi kepada Allah SWT. Ia lebih memilih bertuhan kepada “Hawa nafsu” serta “Syetan”
dan mengabdi kepada keduanya. Allah SWT berfirman :”Terangkanlah kepadaku tentang orang
yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi
pemelihara atasnya?”(QS.25.Al-Furqaan:43). Orang yang bertuhankan hawa nafsu ini
perilakunya bisa lebih nista, lebih memalukan dan lebih sesat daripada binatang. Allah SWT
berfirman :”Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau
memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
jalannya (dari binatang ternak itu)” (QS.25.Al-Furqaan:44).
“Nafsu” yang ada pada diri seorang manusia akan membuat tumpul akal sehatnya, buta
mata hatinya dan tuli telinga nuraninya. Allah SWT berfirman :”Dan sesungguhnya Kami jadikan
untuk isi neraka Jahannam itu kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS.7.Al-
A’raaf:179). Pemikiran, perkataan, perbuatan dan aktifitas orang yang ruhnya masih derajat
“Nafsu” ini adalah potret dari orang-orang yang dikalahkan, dihinakan dan dikuasai oleh syaitan.
Allah SWT berfirman :”Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat
Allah. Mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah
golongan yang merugi.(QS.58.Al-Mujaadilah:19).
Berbagai macam perilaku tidak bermoral, kemaksiatan dan tindak kejahatan dengan
segala modus operandinya, penyalahgunaan narkoba, prostisusi, pornografi, pornoaksi serta
pergaulan bebas adalah contoh-contoh nista perilaku yang dilakukan orang-orang yang derajat
ruhnya masih “Nafsu”.
Jika manusia manusia derajat ruhnya pada tingkat terendah seperti ini, maka “Cahaya
ruh” pada dirinya masih tertutup. Ia gelap gulita. Oleh karenanya ia tidak dapat membaca
petunjuk-petunjuk Allah dalam hidupnya. Al-Qur’an dan Al-Hadits tidak ada arti baginya. Fatwa
ulama dan nasihat orang-orang shalih tidak akan diterimanya. Dialog dengannya biasanya hanya
membuang waktu sia-sia karena tidak ada kebenaran hakiki yang dapat digali. Hanya kekuatan
yang dapat menghentikan kejahatannya. Kekuatan dhohiriyah dan kekuatan ruhiyah.
Akal
Ketika seorang manusia walaupun di dalam dirinya masih bergejolak dorongan hawa
nafsu dan syahwat, namun ia mau dan mampu mencegah dan mengendalikan hawa nafsu dan
syahwatnya dengan ikatan-ikatan “Hukum Syara’”, maka “Ruh” yang ada di dalam dirinya telah
naik satu tingkat dari derajat “Nafsu” menjadi “Akal”.
Orang yang “Berakal”, di dalam dirinya masih ada kecenderungan serta dorongan hawa
nafsu dan gejolak syahwat. Namun keterikatannya dan ketundukannya kepada “Hukum Syara’”
yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Rosulp-Nya membimbingnya untuk dapat mengendalikan
“Godaan & tipu daya” tersebut. Setiap muncul keinginan dan dorongan melakukan suatu, maka ia
akan selalu meneliti terlebih dahulu “Halal” atau “Haram” hukumnya jika dilakukan. Jika ternyata
“Haram”, maka walaupun keinginan sangat tinggi dan hasrat begitu menggebu, maka ia akan
mencegahnya dan segera mengikat “Keinginan Haram” itu dengan “Ikatan Hukum Syara’”.
Mengenai orang-orang yang gigih mengendalikan hawa nafsu ini, Allah SWT berfirman :”Dan
adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan dirinya dari
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surga adalah tempat tinggalnya” (QS.79.An-
Naazi’at:40-41).
Orang yang ruhnya sampai pada derajat “Akal” terkadang ia masih tergelincir kepada
perbuatan terlarang, namun ia segera istighfar. Terkadang ia jatuh ke dalam perbuatan maksiat,
namun ia segera bertaubat. Terkadang ia terpeleset kepada kekhilafan dan kesalahan, namun ia
segera sadar dan memperbaiki diri. Saat salah kepada sesama manusia, ia segera minta maaf.
Di waktu berdosa kepada Allah, maka ia segera mohon ampun. Allah SWT berfirman :”Dan
orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat
kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka” (QS.3. Ali ‘Imran:135).
Ciri khas orang yang ruhnya sudah naik ke derajat “Akal” adalah suka dengan
pengetahun dan gemar menuntut ilmu. Majlis ilmu adalah tempat yang ditujunya. Orang-orang
alim adalah teman-teman pergaulannya. Buku-buku dan literatur adalah koleksinya. Media
komunikasi adalah sahabat-sahabatnya.
Ruh yang sudah sampai derajat “Akal” ini sudah mulai “Bercahaya”, namun masih
sedikit. Hal ini dikarenakan jangkauan pandangan dan pandangan akal itu masih terbatasi oleh
dimensi alam ciptaan-ciptaan Allah serta terikat dengan dalil-dalil dan bukti. “Akal” cenderung
hanya mau menerima dan membenarkan sesuatu yang ia temukan faktanya di alam semesta,
ada dalil-dalil yang menunjukkannya dan bukti-bukti yang menguatkannya. Ciri khas “Akal”
adalah segala sesuatu akan ditanyakan “Manakah dalilnya ?” atau “Manakah buktinya ?”.
Apapun yang belum ia dapatkan dalil dan buktinya, maka ia akan cenderung menolaknya.
Walaupun bisa jadi yang ia tolak itu hakikatnya adalah kebenaran.
Inilah yang menyebabkan cahaya “Akal” itu masih sedikit. Karena keterbatasan
kemampuan manusia untuk menguasai dalil-dalil dan menemukan bukti-bukti, akan membuatnya
terbatas pula dalam ilmu, iman dan amal. Allah SWT menegaskan berulang dalam AL-Qur’an
bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Megetahui, sedangkan manusia banyak tidak tahunya.
“Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan bisa jadi kamu menyukai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”
(QS.2.Al-Baqarah:216).
Orang yang masih pada derajat “Akal” ini, terkadang terhadap sesuatu yang ada dalilnya
saja belum mau menerima, karena ia masih menuntut bukti. Padahal bisa jadi bukti baru bisa
ditemukan manusia ratusan atau ribuan tahun berikutnya. Seperti informasi bahwa “Matahari
berjalan pada garis orbitnya” mengitari pusat edar planet sudah disampaikan oleh Allah SWT di
dalam Al-Qur’an. “Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang
Dazt Maha Perkasa lagi Maha mengetahui” (QS.36.Yaa Siin:38). Namun bukti mengenai fakta ini
baru ditemukan oleh manusia seribu empat ratusan tahun kemudian. Informasi mengenai proses
penciptaan langit dan bumi juga sudah diberitahukan oleh Allah di dalam Al-Qur’an. “Dan apakah
orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasannya langit dan bumi itu keduanya dahulu
adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya dan dari air Kami jadikan
segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS.21.Al-
Anbiyaa’:30). Bukti mengenai fakta ini juga baru ditemukan oleh manusia seribu empat ratusan
tahun kemudian.
Ini membuktikan bahwa jika manusia hanya mengandalkan “Akal semata”, terkadang
firman Allah saja masih diragukan kebenarannya karena ia belum mendapatkan buktinya.
Padahal bisa jadi bukti baru ditemukan ribuan tahun berikutnya. Termasuk dalam hal
“Penerapan Syari’at Islam” secara kaffah pada seluruh bidang kehidupan ummat adalah “Solusi
terhadap berbagai problem kehidupan ummat saat ini”. Walaupun Allah sudah berulang
menyampaikan firman dan janjinya di dalam Al-Qur’an. Masih ada saja sebagian kaum muslimin
yang meragukan bahkan menolaknya. Sebabnya Karena “Akal” mereka belum menemukan
buktinya, walaupun Allah sudah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke
dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu” (QS.2.Al-Baqarah:208). Juga firman Allah :”Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan membuka untuk
mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami
siksa mereka disebabkan perbuatan yang mereka lalukan (QS.7.Al-A’raaf:96).
Apakah kita mesti menunda untuk mengimani “Firman Allah” dan meyakini “Kebenaran
janji Allah” sampai menemukan bukti, walaupun itu nanti sepuluh, seratus atau seribu tahun lagi.
Masih hidupkah kita saat bukti itu Allah tunjukkan ?.
Oleh karena itu agar sempurna “Cahaya Hidayah Allah” dalam kehidupan kita, maka
derajat ruh harus terus kita tingakatkan, dari “Nafsu” menjadi “Akal”. Dan dari akal, naik menjadi
“Qolbu”. Kemudian menjadi “Ruh” yang sem purna. Insya Allah. Wallaahu ‘A’lam Bisshowaab.