04 September 2009

HAKIKAT NAFSU DAN AKAL

HAKIKAT NAFSU DAN AKAL
H. M. Shoffar Mawardi

Semoga Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Luas ilmu-Nya senantiasa
membimbing kita untuk dapat mengkaji dan memahami kebenaran hakiki dalam hidup ini.
Terlebih hal-hal yang menjadi bagian dari persoalan hidup kita sehari-hari. Diantara hal penting
yang sering menjadi bahan perbincangan kita sehari-hari adalah mengenai istilah “Nafsu, Akal,
Qolbu dan Ruh”.
Imam Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu ‘Ajibah Al-Hasani di dalam kitab “Iiqodhul Himam”
menjelaskan bahwa sesungguhnya nafsu, akal, qolbu dan ruh itu adalah sesuatu yang satu yang
ada pada diri manusia. Ia hakikatnya adalah “Ruh”, yang terus-menerus berkembang secara
dinamis sesuai dengan proses pembersihan (tashfiyah) dan kenaikan (taroqqiyah) yang terus
berlangsung di dalamnya. Oleh karena itulah Allah SWT menyatakan bahwa beruntunglah orangorang
yang terus-menerus berproses membersihkan ruhnya. “Maka Allah mengilhamkan kepada
ruh itu potensi kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan ruhnya. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS.91.Asy-
Syams:8-10)
Nafsu
Ketika seorang manusia hari-hari kehidupannya masih dikuasai dan disibukkan oleh
dorongan-dorongan hawa nafsu dan keinginan-keinginan syahwatnya tanpa mempedulikan
apakah hukumnya halal atau haram, maka ruh yang ada di dalam diri orang seperti ini disebut
“Nafsu”. Nafsu adalah derajat ruh yang paling rendah.
Jika seorang manusia ruh yang ada didalam dirinya masih derajat nafsu, maka ia tidak
akan berpikir dan peduli mengenai “Hukum Syara’”, halal atau haram, benar atau salah, baik atau
buruk, apalagi pantas atau tidak pantas. Yang ada dalam benak orang seperti ini hanyalah “Saya
ingin” dan “Saya mau”. Bagi “Nafsu” tidak ada urusan dengan maksiat, dosa, siksa apalagi tata
krama. Bahkan resiko dan akibat dari apa yang akan diperbuatnya pun tidak ia pikir dan
pedulikan. Oleh karenanya ciri khas dari perbuatan “Nafsu” itu ujung-ujungnya adalah
malapetaka dan akhirnya adalah penyesalan yang sia-sia.
Orang yang ruhnya masih derajat nafsu maka kecenderungannya tidak mau beribadah
dan mengabdi kepada Allah SWT. Ia lebih memilih bertuhan kepada “Hawa nafsu” serta “Syetan”
dan mengabdi kepada keduanya. Allah SWT berfirman :”Terangkanlah kepadaku tentang orang
yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi
pemelihara atasnya?”(QS.25.Al-Furqaan:43). Orang yang bertuhankan hawa nafsu ini
perilakunya bisa lebih nista, lebih memalukan dan lebih sesat daripada binatang. Allah SWT
berfirman :”Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau
memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
jalannya (dari binatang ternak itu)” (QS.25.Al-Furqaan:44).
“Nafsu” yang ada pada diri seorang manusia akan membuat tumpul akal sehatnya, buta
mata hatinya dan tuli telinga nuraninya. Allah SWT berfirman :”Dan sesungguhnya Kami jadikan
untuk isi neraka Jahannam itu kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS.7.Al-
A’raaf:179). Pemikiran, perkataan, perbuatan dan aktifitas orang yang ruhnya masih derajat
“Nafsu” ini adalah potret dari orang-orang yang dikalahkan, dihinakan dan dikuasai oleh syaitan.
Allah SWT berfirman :”Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat
Allah. Mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah
golongan yang merugi.(QS.58.Al-Mujaadilah:19).
Berbagai macam perilaku tidak bermoral, kemaksiatan dan tindak kejahatan dengan
segala modus operandinya, penyalahgunaan narkoba, prostisusi, pornografi, pornoaksi serta
pergaulan bebas adalah contoh-contoh nista perilaku yang dilakukan orang-orang yang derajat
ruhnya masih “Nafsu”.
Jika manusia manusia derajat ruhnya pada tingkat terendah seperti ini, maka “Cahaya
ruh” pada dirinya masih tertutup. Ia gelap gulita. Oleh karenanya ia tidak dapat membaca
petunjuk-petunjuk Allah dalam hidupnya. Al-Qur’an dan Al-Hadits tidak ada arti baginya. Fatwa
ulama dan nasihat orang-orang shalih tidak akan diterimanya. Dialog dengannya biasanya hanya
membuang waktu sia-sia karena tidak ada kebenaran hakiki yang dapat digali. Hanya kekuatan
yang dapat menghentikan kejahatannya. Kekuatan dhohiriyah dan kekuatan ruhiyah.
Akal
Ketika seorang manusia walaupun di dalam dirinya masih bergejolak dorongan hawa
nafsu dan syahwat, namun ia mau dan mampu mencegah dan mengendalikan hawa nafsu dan
syahwatnya dengan ikatan-ikatan “Hukum Syara’”, maka “Ruh” yang ada di dalam dirinya telah
naik satu tingkat dari derajat “Nafsu” menjadi “Akal”.
Orang yang “Berakal”, di dalam dirinya masih ada kecenderungan serta dorongan hawa
nafsu dan gejolak syahwat. Namun keterikatannya dan ketundukannya kepada “Hukum Syara’”
yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Rosulp-Nya membimbingnya untuk dapat mengendalikan
“Godaan & tipu daya” tersebut. Setiap muncul keinginan dan dorongan melakukan suatu, maka ia
akan selalu meneliti terlebih dahulu “Halal” atau “Haram” hukumnya jika dilakukan. Jika ternyata
“Haram”, maka walaupun keinginan sangat tinggi dan hasrat begitu menggebu, maka ia akan
mencegahnya dan segera mengikat “Keinginan Haram” itu dengan “Ikatan Hukum Syara’”.
Mengenai orang-orang yang gigih mengendalikan hawa nafsu ini, Allah SWT berfirman :”Dan
adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan dirinya dari
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surga adalah tempat tinggalnya” (QS.79.An-
Naazi’at:40-41).
Orang yang ruhnya sampai pada derajat “Akal” terkadang ia masih tergelincir kepada
perbuatan terlarang, namun ia segera istighfar. Terkadang ia jatuh ke dalam perbuatan maksiat,
namun ia segera bertaubat. Terkadang ia terpeleset kepada kekhilafan dan kesalahan, namun ia
segera sadar dan memperbaiki diri. Saat salah kepada sesama manusia, ia segera minta maaf.
Di waktu berdosa kepada Allah, maka ia segera mohon ampun. Allah SWT berfirman :”Dan
orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat
kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka” (QS.3. Ali ‘Imran:135).
Ciri khas orang yang ruhnya sudah naik ke derajat “Akal” adalah suka dengan
pengetahun dan gemar menuntut ilmu. Majlis ilmu adalah tempat yang ditujunya. Orang-orang
alim adalah teman-teman pergaulannya. Buku-buku dan literatur adalah koleksinya. Media
komunikasi adalah sahabat-sahabatnya.
Ruh yang sudah sampai derajat “Akal” ini sudah mulai “Bercahaya”, namun masih
sedikit. Hal ini dikarenakan jangkauan pandangan dan pandangan akal itu masih terbatasi oleh
dimensi alam ciptaan-ciptaan Allah serta terikat dengan dalil-dalil dan bukti. “Akal” cenderung
hanya mau menerima dan membenarkan sesuatu yang ia temukan faktanya di alam semesta,
ada dalil-dalil yang menunjukkannya dan bukti-bukti yang menguatkannya. Ciri khas “Akal”
adalah segala sesuatu akan ditanyakan “Manakah dalilnya ?” atau “Manakah buktinya ?”.
Apapun yang belum ia dapatkan dalil dan buktinya, maka ia akan cenderung menolaknya.
Walaupun bisa jadi yang ia tolak itu hakikatnya adalah kebenaran.
Inilah yang menyebabkan cahaya “Akal” itu masih sedikit. Karena keterbatasan
kemampuan manusia untuk menguasai dalil-dalil dan menemukan bukti-bukti, akan membuatnya
terbatas pula dalam ilmu, iman dan amal. Allah SWT menegaskan berulang dalam AL-Qur’an
bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Megetahui, sedangkan manusia banyak tidak tahunya.
“Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan bisa jadi kamu menyukai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”
(QS.2.Al-Baqarah:216).
Orang yang masih pada derajat “Akal” ini, terkadang terhadap sesuatu yang ada dalilnya
saja belum mau menerima, karena ia masih menuntut bukti. Padahal bisa jadi bukti baru bisa
ditemukan manusia ratusan atau ribuan tahun berikutnya. Seperti informasi bahwa “Matahari
berjalan pada garis orbitnya” mengitari pusat edar planet sudah disampaikan oleh Allah SWT di
dalam Al-Qur’an. “Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang
Dazt Maha Perkasa lagi Maha mengetahui” (QS.36.Yaa Siin:38). Namun bukti mengenai fakta ini
baru ditemukan oleh manusia seribu empat ratusan tahun kemudian. Informasi mengenai proses
penciptaan langit dan bumi juga sudah diberitahukan oleh Allah di dalam Al-Qur’an. “Dan apakah
orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasannya langit dan bumi itu keduanya dahulu
adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya dan dari air Kami jadikan
segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS.21.Al-
Anbiyaa’:30). Bukti mengenai fakta ini juga baru ditemukan oleh manusia seribu empat ratusan
tahun kemudian.
Ini membuktikan bahwa jika manusia hanya mengandalkan “Akal semata”, terkadang
firman Allah saja masih diragukan kebenarannya karena ia belum mendapatkan buktinya.
Padahal bisa jadi bukti baru ditemukan ribuan tahun berikutnya. Termasuk dalam hal
“Penerapan Syari’at Islam” secara kaffah pada seluruh bidang kehidupan ummat adalah “Solusi
terhadap berbagai problem kehidupan ummat saat ini”. Walaupun Allah sudah berulang
menyampaikan firman dan janjinya di dalam Al-Qur’an. Masih ada saja sebagian kaum muslimin
yang meragukan bahkan menolaknya. Sebabnya Karena “Akal” mereka belum menemukan
buktinya, walaupun Allah sudah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke
dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu” (QS.2.Al-Baqarah:208). Juga firman Allah :”Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan membuka untuk
mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami
siksa mereka disebabkan perbuatan yang mereka lalukan (QS.7.Al-A’raaf:96).
Apakah kita mesti menunda untuk mengimani “Firman Allah” dan meyakini “Kebenaran
janji Allah” sampai menemukan bukti, walaupun itu nanti sepuluh, seratus atau seribu tahun lagi.
Masih hidupkah kita saat bukti itu Allah tunjukkan ?.
Oleh karena itu agar sempurna “Cahaya Hidayah Allah” dalam kehidupan kita, maka
derajat ruh harus terus kita tingakatkan, dari “Nafsu” menjadi “Akal”. Dan dari akal, naik menjadi
“Qolbu”. Kemudian menjadi “Ruh” yang sem purna. Insya Allah. Wallaahu ‘A’lam Bisshowaab.

No comments:

Post a Comment