22 June 2011

Ruhiyah yang Ringkih

Oleh: (Almarhum) Ustadz Ahmad Madani

Ada fenomena berbahaya yang menggejala pada sebagian ummat Islam, sebagai kader Rasulullah saw. Fenomena tersebut dapat terbaca oleh mereka yang jeli memperhatikan tutur kata, pandangan mata serta gerak langkah kader tadi. Fenomena yang dimaksud berupa melemahnya aspek ibadah serta meringkihnya sisi ruhiyah. Bagi kalangan kader yang mengemban tugas menggerakkan roda dakwah (amilin), hal demikian sangat berbahaya dan berpotensi besar melemahkan kekuatan harakah, disamping sebagai bukti menjauhnya mereka dari manhaj yang mereka kenali.

Semua kita tahu bahwa aspek ruhiyah serta ibadah merupakan garapan terdepan manhaj tarbiyah. Penekanan terhadap kedua aspek tadi bukanlah suatu yang berlebihan sehingga mengesankan adanya upaya pembentukan arus tasawuf dalam harakah dakwah. Yang jelas kedua aspek tadi adalah amar (perintah) dari Allah yang harus ditegakkan di samping menjadi wasilah atau sarana yang akan menopang soliditas harakah.

Al-Quran banyak sekali memberi penekanan terhadap aspek-aspek ruhiyah, ibadah, taqarrub, khasysyah, inabah, tsiqah serta tawakal kepada Allah. Begitupun sunnah nabawiyah memberikan perhatian besar terhadap semua aspek tadi seraya banyak sekali menuangkan permisalan agar dapat dipahami maknanya dengan baik. Aplikasi nilai-nilai tadi akan mampu mengokohkan ruhiyah dan memberikan peluang kepada diri untuk mengembangkan potensi yang selanjutnya mampu memikul amanah dakwah.

Selain itu, setiap kader akan dapat merasakan manisnya iman, indahnya zuhud, mementingkan yang disediakan Allah di akhirat serta tabah dalam menghadapi berbagai kesulitan.

Apabila nilai-nilai tadi lepas dari genggaman setiap kader, maka akan meringkihkan ruhiyahnya, kemudian sakit dan berakhir dengan kematian ruhiyah tersebut, nau`dzubillah. Fenomena ruhiyah yang ringkih dan lemah tidak sedikit jumlahnya. Di sini disebutkan sebagian sambil menurunkan beberapa kasus dilapangan agar dapat menjadi peringatan bagi setiap kader agar ia dapat segera mengatasinya.

1. Merasakan keras dan kasarnya hati, sampai-sampai seseorang merasakan bahwa hatinya telah berubah menjadi batu keras. Di mana tidak ada sesuatupun yang dapat merembes kepadanya ataupun mempengaruhinya. Ungkapan ini tidaklah berlebihan, bukankah Al-Qur'an telah menerangkan bahwa hati dapat mengeras sekeras batu. Allah berfirman, "Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi?". (Q.S. Al-Baqarah: 74).

2. Perangai yang tersumbat dan dada yang sempit. Sampai-sampai terasa ada beban berat menghimpit dan nyaris terengah-engah kelelahan, sering mengomel dan mengeluh terhadap sesuatu yang tidak jelas atau gelisah dan sempit dalam pergaulan sehingga tidak peduli terhadap derita orang lain, bahkan timbul ketidaksukaan kepada mereka.

3. Tidak terpengaruh oleh ayat-ayat Al-Qur'an yang mengandung ancaman, tuntutan, larangan atau tentang peristiwa kiamat. Dia mendengarkan Al-Qur'an seperti mendengar kalam-kalam lainnya. Lebih berbahaya lagi apabila dia merasa sempit ketika mendengarkan ayat Al-Qur'an seperti sempitnya dia ketika mendengarkan omongan orang lain. Dia tidak menyediakan waktu sedikitpun untuk tilawah dan apabila mendengarnya dari orang lain dia tidak melakukannya dengan khusyu' dan tenang.

4. Peristiwa kematian tidak memberikan bekas pada dirinya. Begitu juga ketika menyaksikan orang mati, mengusung jenazah atau menguburkannya di liang lahat, sedikitpun tidak ada pengaruh pada dirinya. Jika melewati pekuburan seakan hanya berpapasan dengan batu-batu bisu, dan tidak mengingatkannya akan kematian.

5. Kecintaanya terhadap kesenangan duniawi senantiasa bertambah. Kesukaannya memenuhi syahwat selalu berkobar. Fikirannya tidak jauh dari pelampiasan syahwat tadi sehingga dia merasa tentram bila sudah memperolehnya. Apabila melihat orang lain memperoleh kenikmatan dunia seperti; harta, kedudukan, pangkat, rumah atau pakaian yang bagus, dia merasa tersiksa dan menganggap dirinya gagal. Lebih tersiksa lagi apabila yang mendapatkan kenikmatan duniawi itu adalah saudaranya sendiri atau sahabatnya. Terkadang timbul pada dirinya penyakit hasad atau dengki di mana dia tidak ingin kenikmatan itu tetap ada pada saudaranya.

6. Ada kegelapan dalam ruhiyah yang berbekas di wajahnya. Hal ini dapat diamati oleh mereka yang memiliki ketajaman firasat dan memandang dengan nur Allah. Setiap mu'min memiliki nur sesuai dengan kadar keimanannya, dia mampu melihat sesuatu yang tidak mampu dilakukan orang lain. Kegelapan ruhiyah tadi ada begitu pekat sampai begitu jelas tergambar di wajahnya dan dapat diamati oleh mereka yang memiliki firasat imaniyah paling lemah sekalipun. Tetapi kegelapan yang remang-remang hanya dapat diamati oleh mereka yang memiliki firasat imaniyah yang kuat.

7. Bermalas-malasan dalam melakukan kebaikan dan ibadah. Hal tersebut terlihat dengan kurangnya perhatian dan semangat. Shalat yang dilakukan hanya sekedar gerakan, bacaan, berdiri dan duduk yang tidak memiliki atsar atau pengaruh sedikitpun. Bahkan tampak dia merasa terganggu oleh shalat seakan dia berada dalam penjara yang dia ingin berlepas darinya secepat mungkin.

8. Lupa yang keterlaluan kepada Allah. Sedikitpun dia tidak berdzikir dengan lisannya dan tidak juga ingat kepada-Nya. Padahal dia selalu menyaksikan ciptaan Allah SWT. Bahkan terkadang dia merasa keberatan untuk sekedar berdzikir atau berdo'a kepadanya. Jika dia mengangkat tangannya, cepat sekali dia turunkan kembali untuk segera pergi.


Kiat penyembuhanya

1. Selalu dzikrullah. Yaitu senantiasa berdzikir dengan lisan disertai dengan persetujuan hati, tafakur akan ciptaan Allah dan mengambil petunjuk melalui makhluk-makhluk-Nya untuk mengetahui keagungan kekuasaan-Nya, kecermatan hikmah-Nya, keluasan rahmat-Nya, serta keterikatan makhluk dengan-Nya. Juga selalu merasakan pengawasan Allah dan kekuasaan-Nya yang mutlak terhadap manusia serta pentingnya memiliki sifat malu kepada-Nya.

Semua hal tersebut di atas tidak mungkin dicapai dengan mudah bagi orang yang ringkih ruhiyahnya. Untuk memperolehnya diperlukan kesabaran, tekad, tidak gelisah serta bertahap sedikit demi sedikit. Setap kali dia memperoleh sebagian hal di atas maka akan menguatlah ruhiyahnya dan semakin berkurang keringkihannya hingga sirna tanda-tanda penyakit ruhiyah tadi. Selanjutnya dia memasuki tahap penyembuhan sampai sembuh total. Ketika itulah dia akan merasakan nikmatnya nilai-nilai luhur tadi dan dia akan semakin lengket kepadanya. Orang yang ringkih ruhiyahnya bagikan penderita sakit yang tidak nafsu kepada makanan yang enak.

Tetapi dengan berlalunya waktu dan mencoba memasukkan makanan sedikit demi sedikit, fisiknya akan kembali kuat dan sirnalah tanda-tanda penyakit. Setelah itu dia kembali sehat dan dapat menikmati makanan yang enak dengan penuh kerinduan dan suka cita

2. Menghadirkan potret akhirat dan segala yang terjadi ketika itu. Ada orang yang berkeinginan untuk dapat kembali ke dunia guna menghabiskan seluruh umurnya demi keselamatannnya jika mungkin. Hendaknya seorang kader merenung bahwa rumah akhirat pertama yang akan ditempatinya adalah kubur. Hendaklah dia membayangkannya dengan tajam, memasang potret kubur yang gelap itu di ingatannya serta mengenang tidurnya yang sendirian di mana tidak ada penghibur kecuali amalnya.

Tersebutlah dahulu ada seorang shalih yang arif menggali sebuah kubur di rumahnya, setiap kali dia merasa kekerasan di hatinya, dimasukinya kubur tersebut seraya membaca firman Allah, "Dia berkata, Ya Rabb kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang shalih terhadap yang telah kutinggalkan" (Q.S. Al- Mu'minun: 99-100). Kemudian orang shalih itu berkata, "Wahai jiwa, kini engkau telah kembali ke dunia, maka beramallah yang shalih!.

3. Hendaklah setiap kader ingat bahwa kematian lebih dekat kepadanya dari tali sendalnya. Janganlah dia tertipu oleh masa muda, kekuatan serta kesegarannya. Kematian tidak mengenal masa muda. Kekuatan dan kesehatan tidak mampu mencegah kehadirannya. Di antara hikmah dan rahmat Allah kepada kita, Dia memperlihatkan kepada kita kematian yang merenggut nyawa seorang bayi, anak kecil, orang muda, orang tua dan juga orang sakit. Oleh karenanya setiap orang harus ingat bahwa dia pasti mengalami kematian kapan saja agar selalu bertambah kehati-hatian dan bersiap-siap meninggalkan dunia.

Tahukah engkau wahai saudaraku tentang kematian dan sakaratul maut yang menakutkan itu? Ketika sakaratul maut tiba pada diri seseorang, syaitan menghimpun segala kekuatan, kelicikan dan fikirannya. Dia berkata kepada dirinya, "Jika orang ini lepas dari genggamanku, aku tidak akan mampu lagi mempengaruhinya." Maka dibujuknya orang itu untuk kufur, dicintakan kepadanya kemurtadan dan dihiasinya dunia di matanya sembari mengingatkan orang tersebut akan kenikmatan yang dia inginkan, agar orang tersebut berpaling dari akhirat dan harapan bertemu Allah.

Akhirnya orang itupun tidak ingin mengalami kematian dan matilah dia dalam kekufuran, nauzubillah.

Diceritakan tentang seorang arif yang dikunjungi oleh para sahabatnya ketika sedang menderita sakit yang membawa kepada kematiannya. Ketika itu mereka melihat orang bijak tadi menangis. Maka dihiburnyalah dia dengan mengingatkan bahwa seluruh perbuatannya adalah baik dan rahmat Allah pasti tercurah untuknya. Orang arif tersebut berkata, "Aku menangisi imanku yang aku khawatirkan dirampas ketika sakaratul maut!"

Bukanlah tempatnya di sini untuk menerangkan hakikat ucapan orang arif tersebut. Cukuplah sebagai pelajaran bagi setiap kader bahwa menghadirkan kematian dan tidak melupakannnya akan membuat dirinya senantiasa merasa asing hidup di dunia ini. Dia dapat memahami dengan baik ma'na ungkapan Rasul SAW, "Jadilah engkau di dunia, seakan seorang asing atau (bahkan) pengembara. Dan golongkan dirimu dalam kelompok penduduk kubur." (HR Bukhari, Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Majjah dari Abdullah bin Umar).

Perasaan terasing tersebut berdampak sangat unik, diantaranya: Pertama, segala sandungan serta cobaan yang dialami oleh setiap kader akan terasa ringan. Kedua, derita terasa ringan, hati menjadi sabar, kebahagiaan yang tercela mengisut dan dunia yang menipu menjadi jauh. Ketiga, pandangan kader akan tertuju ke tempat tinggal yang sebenarnya berupa rumah akhirat. Dia tidak merasa tentram dengan kehidupan duniawi apalagi condong kepadanya. Seorang asing menyadari bahwa menetapnya di negeri asing hanyalah sementara sedang hatinya selalu menoleh ke rumah yang tidak akan pernah binasa, rumah bahagia dan tanpa derita. Rumah yang dekat dangan Rabbnya di mana dia dapat melihat-Nya. Dan apabila seorang kader merenungi kenikmatan akhirat dia pun akan terbuai harapan dan cita-cita. Harapan yang benar tentunya harus diiringi upaya yang sungguh-sungguh agar dapat sampai kepada yang dicita-citakan.

4. Memelihara dengan serius segala sarana penyuci diri dan menopangnya dengan kekuatan dan semangat. Sesungguhnya ruhani dapat menjadi kotor dan butuh penyucian. Dia pun akan mengalami kelesuan maka harus selalu diberi semangat. Dia juga mengalami sakit yang membutuhkan pengobatan. Sebagaimana dia pun mengalami kelemahan yang perlu diberi kekuatan. Semuanya itu berupa ibadah yang terus menerus dan yang paling utama adalah shalat. Maka bukanlah suatu yang mengada-ada apabila Rasulullah mewasiatkan pentingnya shalat kepada ummatnya ketika beliau akan menutup hayatnya. Shalat, suatu ibadah yang menyenangkan dan dapat menyucikan ruh dari segala kotoran dan menghubungkan seorang hamba kepada Rabb-nya.

Begitu pula harakah ini pun mewasiatkan kepada setiap kader untuk membaca Al- Qur'an sebelum shubuh atau sesudahnya, membaca wirid ma'tsurat sughra dan berziarah kubur sekali dalam sepekan setelah melaksanakan tugas-tugas di atas. Untuk memudahkan bangun pagi, setiap akh hendaknya menghindari tidur terlalu malam jika tidak ada kepentingan mendesak. Merekapun hendaknya tidak membiasakan menggunakan jam weker.

Wahai ikhwah!!.. Kami mencintai kalian sebagaimana kami mencintai diri kami sendiri. Kami berharap agar cinta ini berharga di sisi Allah sebagaimana kami pun berharap semoga Allah menghimpun kita dalam kebenaran dan jihad di dunia serta kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Apa yang kami sampaikan ini bukanlah sekedar tulisan untuk mengisi kekosongan, menyenangkan fikiran atau menyegarkan jiwa sesaat saja dan setelah itu tak ada lagi guna. Tulisan ini adalah arahan yang harus kita pegang erat karena dia adalah bagian dari manhaj Islam. Dengan melaksanakan apa yang tertera di sini, kalian akan mampu dengan idzin
Allah, memikul da'wah dan jihad fi sabilillah. Pasanglah tekad kalian untuk melaksanakannya dan jujurlah kepada Allah niscaya Allah akan membuktikan apa yang dijanjikan-Nya.

Sumber: Majalah Saksi

16 February 2011

Beriman Secara Spontan

Beriman Secara Spontan

Sebelum datangnya wahyu yang dibawa Muhammad, boleh dikata tiada bangsa yang memiliki karakter yang kasar melebihi bangsa Arab. Mereka yang diam di dalamnya, bisa dikatakan telah mengidap 6 penyakit K (Kurap, Kutil, Kudis, Kurus, Kere, dan Kesasar).

Kurap (kurang rapi), Kutil (kurang teliti), Kudis (kurang disiplin), Kurus (kurang terurus), Kere (kurang resik/kurang rapi, red), dan Kesasar (kurang asah, asuh, asih, dan kurang ajar). Mereka adalah manusia yang sulit meninggalkan tradisi patologi sosial, yang sudah menggurita. Istilah kita, mo limo. Dan gejala tersebut efek dari kuman (kurang iman) dan hidup dalam kubangan jahiliyah. Dalam waktu 23 tahun terjadi 60 kali lebih peristiwa peperangan.

Namun, setelah tershibghah (tercelup) dengan wahyu selama 13 tahun di Makkah, terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam struktur kepribadian mereka. Terjadi penataan ulang (rekonstruksi) dalam tashawwur (persepsi), ittijah (orientasi), wijhah (cara pandang), ghoyah (tujuan akhir), tentang definisi “Allah”, tentang diri mereka sendiri dan alam semesta.

Dari sinilah awal terjadinya perubahan. Dari manusia penunggang onta, memiliki kelayakan sebagai pemimpin dunia. Semula tidak pernah berfikir tentang struktur kekuasaan, kemudian menjadi pemimpin. Awalnya tidak berfikir tentang perang, kemudian menjadi panglima. Tadinya tidak pernah berfikir tentang kualitas diri, kemudian menjadi alim, zahid, dan qo-id (panglima).

Setelah mengenali Allah dengan ma’rifat yang benar, mereka menyadari bahwa manusia itu mahdud (memiliki keterbatasan), qashir (banyak kekurangan), ‘ajiz (lemah), dan muhtaj ila ghoirih (membutuhkan orang lain). Bahkan ia menyadari sesungguhnya manusia itu mahallul khathai wan nisyan (tempat salah dan lupa). Betapapun tinggi kedudukan seseorang, manusia adalah dho’if (lemah), zdalil (hina), faqir (miskin), demikian kata Fatimah binti Rasulullah Saw.

Dengan iman yang benar, mereka menyadari diri. Bahwa dari mata mereka, bisa keluar kotoran. Termasuk dari telinga, kemaluan, dan dubur mereka. Jadi, jika ia melihat dirinya (atau orang lain secara fisik), tak lebih hanya tong tahi yang hidup. Karenanya tak patut untuk membanggakan diri, apalagi sombong.

Berbeda dengan Allah Swt yang memiliki segala sifat kemuliaan dan kesempurnaan dan jauh dari segala sifat kekurangan.

Dari sinilah manusia kemudian menyadari diri bahwa ia adalah makhluk yang tergantung kepada Allah Swt. Bertolak dari kesadaran (wa’yu) di atas, lahirlah sikap yang sering disebut sami’na wa ‘atha’na (kami mendengar dan taat) terhadap nasihat, petunjuk, dan arahan yang bersumber dari Allah Swt dan Al-Quran.

Penghayatan terhadap kedudukan Allah Swt yang sedemikian rupa, mustahil terjadi pada manusia yang patuh karena Undang-Undang dunia atau buatan manusia. Manusia Muslim yang beriman, ia meyakini kepatuhan ini sebagai ibadah dan merupakan bentuk taqarrub (pendekatan) kepada-Nya. Orang Muslim yang beriman, ia selalu akan merasa dekat kepada-Nya secara formal maupun informal, karena meyakini dengan cara seperti itu akan mengangkat derajatnya dan menghapus segala dosa dan kekurangan, serta sisi gelap dalam dirinya, dan akan menjadi sosok manusia yang menjadi jelmaan kehendak-Nya. Laksana seorang anak yang sedang bermain lumpur, kemudian dipanggil oleh orang tuanya yang menyayanginya untuk mandi di kolam. Betapa segar dan bersihnya badan setelah itu (QS. An Nisa (4) : 65).

Mereka tahu benar, hukum-hukum yang terkandung dalam syariat Allah-lah yang paling sempurna, syamil, paling adil, dan paling mampu mewujudkan setiap yang namanya kebajikan, ma’rufat, dan maslahat. Mereka yakin, hukum-hukum buatan Allah paling mampu menegakkan kebenaran dan menumbangkan kebatilan dan mencabut mafsadat dari akar-akarnya. Oleh karena itu ia bersegera melaksanakan syariat, dengan penuh rasa puas, ridho, keluar dari hati yang ikhlas, bukan karena terpaksa lantaran takut kepada polisi, pengawas, dan petugas keamanan atau karena lahirnya KPK. Sikap orang-orang beriman, akan lebih memudahkan aparat keamanan mengurangi beban pekerjaannya.

Taat tanpa Syarat

Sikap sami’na wa atho’na sering pula kita jumpai dalam sejarah pada zaman Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Ada kisah, seseorang wanita ghomidiyah yang telah lalai melakukan perbuatan zina secara sembunyi-sembunyi. Ia kemudian datang sendiri menghadap Nabi tanpa ada pengaduan warga atau dijemput paksa oleh polisi. Ia menemui Nabi karena didorong oleh kesadaran imannya meminta dihukum atas perbuatannya agar pada hari kiamat nanti ia menghadap Allah dalam keadaan bersih.

“Tidaklah sakit, jari tangan yang dipotong oleh syariat lantaran yang menyuruhnya ialah Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Pengasih,” begitu semboyannya.

Abu Tholhah yang sudah tua tidak menghiraukan larangan anaknya untuk ikut perang (QS. At Taubah (9) : 41). Anak-anak yang belum cukup umur itu berebut undian untuk turut berjihad. Seorang pemuda Abdullah Al Muaqqal Al Muzani dkk menangis karena tidak diikutkan dalam Perang Tabuk (QS. At Taubah (9) : 92).

Seorang kakek tua yang sudah pincang, seperti ‘Amr bin Jamuh Al Anshari menolak untuk tidak diikutkan dalam Perang Uhud (QS. Fath (48) : 17). Said bin Musayyab bersikeras ikut perang sekalipun sakit (bahkan matanya copot sebelah). Setelah diprotes, ia menjawab: “Allah telah menyuruh kita berangkat berjihad baik dalam keadaan ringan maupun berat. Jika aku tidak berangkat, niscaya aku hanya akan memperbanyak noda dan dosa dan memelihara barang-barang dunia.” (Imam Qurthubi ketika menafsiri ayat 41 surat At Taubah).

Abu Tholhah menginfakkan kebunnya yang terkenal (ba-iruha) hanya karena ia masbuq atau terlambat shalat berjamaah. Itulah mental orang-orang yang sudah terasa dan tertimpa iman.

Wanita Anshar

Sikap perempuan-perempuan muslimah generasi pertama terhadap tabarruj (berperilaku) ala jahiliyah yang diharamkan oleh Allah Swt, dan terhadap hijab (jilbab) yang diwajibkan kepada mereka membuktikan bahwa mereka adalah para wanita yang bersegera menyambut seruan Allah Swt.

Pada masa jahiliyah, ada seorang perempuan lewat di antara kaum lelaki dalam keadaan terbuka. Sambil melenggak-lenggok mereka memperlihatkan leher dan ujung rambutnya serta perhiasan telinganya. Maka Allah haramkan atas seluruh perempuan mukminah tabarruj (berpenampilan) ala jahiliyah pertama ini, dan memerintahkan mereka agar berbeda dari perempuan jahiliyah dengan cara menjulurkan jilbabnya sampai menutup sakunya, mulai dari kepala, dada, leher dan telinganya.

Aisyah menceritakan kepada kita bagaimana sikap perempuan-perempuan Muhajirin dan Anshar dalam masyarakat Islam pertama terhadap syariat Ilahi yang berkaitan dengan perintah mengubah aspek amat mendasar dalam kehidupan wanita, yaitu: tingkahlaku, pakaian, dan perhiasan. Beliau melanjutkan: Semoga Allah merahmati kaum wanita Muhajirat pertama, ketika Allah menurunkan Surat An Nur ayat 31: “Dan hendaklah mereka menjulurkan (menutupkan) jilbab mereka sampai kantong-kantong mereka.”

Pada suatu hari seorang perempuan berkunjung kepada Aisyah dan membicarakan perempuan Quraisy dan keutamaannya. Maka beliau berkata: “Perempuan Quraisy itu memiliki keutamaan. Tapi demi Allah, aku tidak pernah menemukan perempuan yang lebih utama dari wanita Anshar. Aku tidak pernah menjumpai perempuan lebih meyakini Kitabullah dan lebih mengimani, membenarkan Al Quran. Sungguh, ketika turun surat An Nur : 31, kaum lelakinya serempak mendatangi mereka membacakan firman Allah tersebut. Dan demi, ketika seorang lelaki membacakannya kepada istri, putri, dan saudarinya, tak ada dari mereka yang tinggal diam, melainkan segera mengambil kerudung (jilbab)-nya masing-masing (yang berhias dengan gambar-gambar), kemudian menutup kepalanya sesuai perintah sebagai pernyataan iman dan membenarkan Al Quran. Sehingga ketika subuh mereka ada di belakang Rasulullah dalam keadaan kepalanya tertutup rapat, seakan-akan kepalanya terdapat burung gagak.” [Ibnu Katsir dari Ibnu Abi Hatim].

Demikianlah sikap para mukmin dan mukminah terhadap hukum Allah Swt. Sikap yang segera dan spontanitas (istijabah fauriyah) melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya tanpa sedikitpun keraguan atau menunggu-nunggu. Mereka secepatnya melaksanakan perintah tanpa menunggu dua hari atau lebih untuk membeli atau menjahit pakaian baru dahulu yang cocok menjadi penutup kepala mereka, melainkan langsung mengenakan pakaian yang baru ia dapatkan.

Mereka juga tak perlu berdiskusi, berdebat atau melakukan simposium, sebagaimana para kaum feminis dan liberal, yang lebih suka mengotak-atik ayat, mengkorupsinya bahkan memelintir-melintir sesuai keinginannya.

Para sahabat Nabi itu hanya mengatakan, sami’na wa ‘atha’na, kami mendengar dan kami taati. Titik!

Dengan iman, mereka jauh lebih kreatif. Tak pernah berargumen aneh-aneh atau berdalih untuk menipu perintah Allah. Bila mereka tidak menemukan bahan, mereka mengubahnya dengan cara menyobek (melubangi)-nya untuk dipasangkan di kepala mereka, meski bentuknya tak sesuai mode dan tak nyaman dipandang mata. Baginya, yang penting aurat mereka tertutup rapat sehingga nampak di kepalanya seakan-akan burung gagak. (dalan al Halal wal Haram fil Islam, DR. Yusuf Qardhawi).

Nah, bandingkanlah sikap seperti itu pada kita. Apakah ketika ayat dan seruan Allah itu datang, kita langsung istijabah fauriyah (menyambut seruan secara spontan) atau mendebatnya dahulu dengan mengatakan, “Oh, itu hanya tradisi Arab” atau dengan bermacam alasan, seolah kita lebih pintar dari Allah yang telah menurunkan perintahNya dalam Al-Quran?

www.hidayatullah.com

31 January 2011

Semangat Hari Ini

Alhamdulillah, Sekian Lama sempat berhenti mengupdate blog, kini aku kembali dengan semangat hari ini hari selasa. semangatnya menembus batas2 geografis.. :) syukurku kepada Allah SWT atas karunia hari ini. sambil menulis di blog lama ini ditemani oleh nasyid rabbani - apa yang kau tahu. ini liriknya ^_^

Apa Yang Kau Tahu
Album : Aman Peace
Munsyid : Rabbani
http://liriknasyid.com


Bacalah...sebutlah dengan nama
Tuhan yang menciptakan
Segala kejadian di dunia

Bacalah...tulislah dengan pena
Wahyu yang diutuskan
Risalah kebenaran untuk insan

Seluruh kasihnya telah dia curahkan
Tulus suci mengisi ruang hati
Bagai dalam dingin
Rindu berdakapan
Dengan kata syahdu
Kasih mesra bersatu
Apa yang kau tahu

Bacalah...lihatlah dengan mata
Selami sanubari
Putaran panorama hidup ini

Bacalah...tipuan mata hati
Bisikan penuh mimpi
Melamar kelalaian tidak henti

Suruhan larangan telah dia sampaikan
Jangan pilih haluan dimurka
Kelak rebah diri
Duka menangisi
Tanpa belas kasih
Disiksa saban waktu
Apa yang kau tahu

Gua hira menggamit kisah silam
Satu peristiwa nabi bersendiri
Iqra diturunkan muhammad ditabalkan
Tersuratlah sudah kalam dari Tuhan

Sekian kalinya detik waktu berlalu
Apa terus berbakti untuk dia
Membalas kasih
Syukur dengan nikmat

Amal yang bertambah
Hikmahnya kan ketemu

Apa yang kau tahu

Pengirim : JAYANTI

www.liriknasyid.com