16 February 2011

Beriman Secara Spontan

Beriman Secara Spontan

Sebelum datangnya wahyu yang dibawa Muhammad, boleh dikata tiada bangsa yang memiliki karakter yang kasar melebihi bangsa Arab. Mereka yang diam di dalamnya, bisa dikatakan telah mengidap 6 penyakit K (Kurap, Kutil, Kudis, Kurus, Kere, dan Kesasar).

Kurap (kurang rapi), Kutil (kurang teliti), Kudis (kurang disiplin), Kurus (kurang terurus), Kere (kurang resik/kurang rapi, red), dan Kesasar (kurang asah, asuh, asih, dan kurang ajar). Mereka adalah manusia yang sulit meninggalkan tradisi patologi sosial, yang sudah menggurita. Istilah kita, mo limo. Dan gejala tersebut efek dari kuman (kurang iman) dan hidup dalam kubangan jahiliyah. Dalam waktu 23 tahun terjadi 60 kali lebih peristiwa peperangan.

Namun, setelah tershibghah (tercelup) dengan wahyu selama 13 tahun di Makkah, terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam struktur kepribadian mereka. Terjadi penataan ulang (rekonstruksi) dalam tashawwur (persepsi), ittijah (orientasi), wijhah (cara pandang), ghoyah (tujuan akhir), tentang definisi “Allah”, tentang diri mereka sendiri dan alam semesta.

Dari sinilah awal terjadinya perubahan. Dari manusia penunggang onta, memiliki kelayakan sebagai pemimpin dunia. Semula tidak pernah berfikir tentang struktur kekuasaan, kemudian menjadi pemimpin. Awalnya tidak berfikir tentang perang, kemudian menjadi panglima. Tadinya tidak pernah berfikir tentang kualitas diri, kemudian menjadi alim, zahid, dan qo-id (panglima).

Setelah mengenali Allah dengan ma’rifat yang benar, mereka menyadari bahwa manusia itu mahdud (memiliki keterbatasan), qashir (banyak kekurangan), ‘ajiz (lemah), dan muhtaj ila ghoirih (membutuhkan orang lain). Bahkan ia menyadari sesungguhnya manusia itu mahallul khathai wan nisyan (tempat salah dan lupa). Betapapun tinggi kedudukan seseorang, manusia adalah dho’if (lemah), zdalil (hina), faqir (miskin), demikian kata Fatimah binti Rasulullah Saw.

Dengan iman yang benar, mereka menyadari diri. Bahwa dari mata mereka, bisa keluar kotoran. Termasuk dari telinga, kemaluan, dan dubur mereka. Jadi, jika ia melihat dirinya (atau orang lain secara fisik), tak lebih hanya tong tahi yang hidup. Karenanya tak patut untuk membanggakan diri, apalagi sombong.

Berbeda dengan Allah Swt yang memiliki segala sifat kemuliaan dan kesempurnaan dan jauh dari segala sifat kekurangan.

Dari sinilah manusia kemudian menyadari diri bahwa ia adalah makhluk yang tergantung kepada Allah Swt. Bertolak dari kesadaran (wa’yu) di atas, lahirlah sikap yang sering disebut sami’na wa ‘atha’na (kami mendengar dan taat) terhadap nasihat, petunjuk, dan arahan yang bersumber dari Allah Swt dan Al-Quran.

Penghayatan terhadap kedudukan Allah Swt yang sedemikian rupa, mustahil terjadi pada manusia yang patuh karena Undang-Undang dunia atau buatan manusia. Manusia Muslim yang beriman, ia meyakini kepatuhan ini sebagai ibadah dan merupakan bentuk taqarrub (pendekatan) kepada-Nya. Orang Muslim yang beriman, ia selalu akan merasa dekat kepada-Nya secara formal maupun informal, karena meyakini dengan cara seperti itu akan mengangkat derajatnya dan menghapus segala dosa dan kekurangan, serta sisi gelap dalam dirinya, dan akan menjadi sosok manusia yang menjadi jelmaan kehendak-Nya. Laksana seorang anak yang sedang bermain lumpur, kemudian dipanggil oleh orang tuanya yang menyayanginya untuk mandi di kolam. Betapa segar dan bersihnya badan setelah itu (QS. An Nisa (4) : 65).

Mereka tahu benar, hukum-hukum yang terkandung dalam syariat Allah-lah yang paling sempurna, syamil, paling adil, dan paling mampu mewujudkan setiap yang namanya kebajikan, ma’rufat, dan maslahat. Mereka yakin, hukum-hukum buatan Allah paling mampu menegakkan kebenaran dan menumbangkan kebatilan dan mencabut mafsadat dari akar-akarnya. Oleh karena itu ia bersegera melaksanakan syariat, dengan penuh rasa puas, ridho, keluar dari hati yang ikhlas, bukan karena terpaksa lantaran takut kepada polisi, pengawas, dan petugas keamanan atau karena lahirnya KPK. Sikap orang-orang beriman, akan lebih memudahkan aparat keamanan mengurangi beban pekerjaannya.

Taat tanpa Syarat

Sikap sami’na wa atho’na sering pula kita jumpai dalam sejarah pada zaman Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Ada kisah, seseorang wanita ghomidiyah yang telah lalai melakukan perbuatan zina secara sembunyi-sembunyi. Ia kemudian datang sendiri menghadap Nabi tanpa ada pengaduan warga atau dijemput paksa oleh polisi. Ia menemui Nabi karena didorong oleh kesadaran imannya meminta dihukum atas perbuatannya agar pada hari kiamat nanti ia menghadap Allah dalam keadaan bersih.

“Tidaklah sakit, jari tangan yang dipotong oleh syariat lantaran yang menyuruhnya ialah Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Pengasih,” begitu semboyannya.

Abu Tholhah yang sudah tua tidak menghiraukan larangan anaknya untuk ikut perang (QS. At Taubah (9) : 41). Anak-anak yang belum cukup umur itu berebut undian untuk turut berjihad. Seorang pemuda Abdullah Al Muaqqal Al Muzani dkk menangis karena tidak diikutkan dalam Perang Tabuk (QS. At Taubah (9) : 92).

Seorang kakek tua yang sudah pincang, seperti ‘Amr bin Jamuh Al Anshari menolak untuk tidak diikutkan dalam Perang Uhud (QS. Fath (48) : 17). Said bin Musayyab bersikeras ikut perang sekalipun sakit (bahkan matanya copot sebelah). Setelah diprotes, ia menjawab: “Allah telah menyuruh kita berangkat berjihad baik dalam keadaan ringan maupun berat. Jika aku tidak berangkat, niscaya aku hanya akan memperbanyak noda dan dosa dan memelihara barang-barang dunia.” (Imam Qurthubi ketika menafsiri ayat 41 surat At Taubah).

Abu Tholhah menginfakkan kebunnya yang terkenal (ba-iruha) hanya karena ia masbuq atau terlambat shalat berjamaah. Itulah mental orang-orang yang sudah terasa dan tertimpa iman.

Wanita Anshar

Sikap perempuan-perempuan muslimah generasi pertama terhadap tabarruj (berperilaku) ala jahiliyah yang diharamkan oleh Allah Swt, dan terhadap hijab (jilbab) yang diwajibkan kepada mereka membuktikan bahwa mereka adalah para wanita yang bersegera menyambut seruan Allah Swt.

Pada masa jahiliyah, ada seorang perempuan lewat di antara kaum lelaki dalam keadaan terbuka. Sambil melenggak-lenggok mereka memperlihatkan leher dan ujung rambutnya serta perhiasan telinganya. Maka Allah haramkan atas seluruh perempuan mukminah tabarruj (berpenampilan) ala jahiliyah pertama ini, dan memerintahkan mereka agar berbeda dari perempuan jahiliyah dengan cara menjulurkan jilbabnya sampai menutup sakunya, mulai dari kepala, dada, leher dan telinganya.

Aisyah menceritakan kepada kita bagaimana sikap perempuan-perempuan Muhajirin dan Anshar dalam masyarakat Islam pertama terhadap syariat Ilahi yang berkaitan dengan perintah mengubah aspek amat mendasar dalam kehidupan wanita, yaitu: tingkahlaku, pakaian, dan perhiasan. Beliau melanjutkan: Semoga Allah merahmati kaum wanita Muhajirat pertama, ketika Allah menurunkan Surat An Nur ayat 31: “Dan hendaklah mereka menjulurkan (menutupkan) jilbab mereka sampai kantong-kantong mereka.”

Pada suatu hari seorang perempuan berkunjung kepada Aisyah dan membicarakan perempuan Quraisy dan keutamaannya. Maka beliau berkata: “Perempuan Quraisy itu memiliki keutamaan. Tapi demi Allah, aku tidak pernah menemukan perempuan yang lebih utama dari wanita Anshar. Aku tidak pernah menjumpai perempuan lebih meyakini Kitabullah dan lebih mengimani, membenarkan Al Quran. Sungguh, ketika turun surat An Nur : 31, kaum lelakinya serempak mendatangi mereka membacakan firman Allah tersebut. Dan demi, ketika seorang lelaki membacakannya kepada istri, putri, dan saudarinya, tak ada dari mereka yang tinggal diam, melainkan segera mengambil kerudung (jilbab)-nya masing-masing (yang berhias dengan gambar-gambar), kemudian menutup kepalanya sesuai perintah sebagai pernyataan iman dan membenarkan Al Quran. Sehingga ketika subuh mereka ada di belakang Rasulullah dalam keadaan kepalanya tertutup rapat, seakan-akan kepalanya terdapat burung gagak.” [Ibnu Katsir dari Ibnu Abi Hatim].

Demikianlah sikap para mukmin dan mukminah terhadap hukum Allah Swt. Sikap yang segera dan spontanitas (istijabah fauriyah) melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya tanpa sedikitpun keraguan atau menunggu-nunggu. Mereka secepatnya melaksanakan perintah tanpa menunggu dua hari atau lebih untuk membeli atau menjahit pakaian baru dahulu yang cocok menjadi penutup kepala mereka, melainkan langsung mengenakan pakaian yang baru ia dapatkan.

Mereka juga tak perlu berdiskusi, berdebat atau melakukan simposium, sebagaimana para kaum feminis dan liberal, yang lebih suka mengotak-atik ayat, mengkorupsinya bahkan memelintir-melintir sesuai keinginannya.

Para sahabat Nabi itu hanya mengatakan, sami’na wa ‘atha’na, kami mendengar dan kami taati. Titik!

Dengan iman, mereka jauh lebih kreatif. Tak pernah berargumen aneh-aneh atau berdalih untuk menipu perintah Allah. Bila mereka tidak menemukan bahan, mereka mengubahnya dengan cara menyobek (melubangi)-nya untuk dipasangkan di kepala mereka, meski bentuknya tak sesuai mode dan tak nyaman dipandang mata. Baginya, yang penting aurat mereka tertutup rapat sehingga nampak di kepalanya seakan-akan burung gagak. (dalan al Halal wal Haram fil Islam, DR. Yusuf Qardhawi).

Nah, bandingkanlah sikap seperti itu pada kita. Apakah ketika ayat dan seruan Allah itu datang, kita langsung istijabah fauriyah (menyambut seruan secara spontan) atau mendebatnya dahulu dengan mengatakan, “Oh, itu hanya tradisi Arab” atau dengan bermacam alasan, seolah kita lebih pintar dari Allah yang telah menurunkan perintahNya dalam Al-Quran?

www.hidayatullah.com

2 comments:

  1. Beriman bisa spontan, musyrik pun bisa lebih spontan lagi. Maka kita harus lebih berhati-hati dan memperkuat iman kita.

    ReplyDelete
  2. Your blog is very useful for me,Thanks for your sharing.

    doctor strange (2016)

    ReplyDelete